Sebuah Tanda Berakhirnya Era “Digital Learning”?
Pandemi Covid-19, terima kasih. Telah menyadarkan dunia. Telah menyadarkan banyak pihak.
Bahwa kita masuk ke kondisi baru yang berbeda dan menuntut lebih banyak perubahan dari biasanya. Krisis Kesehatan ini menyebabkan krisis ekonomi.
Krisis ekonomi mengharuskan kita untuk menemukan cara-cara baru dari mindset yang baru. Sebelum wabah Covid-19, marak dibahas tentang disrupsi. Tentang tercerabutnya akar pondasi bisnis yang membuat ojek jalanan bisa menjadi mitra bisnis restoran kelas wahid dunia. Banyak anak muda yang tampil berbisnis dan cepat membangun aset, dalam waktu hanya kurang 9 tahun. Sementara generasi orang tuanya yang harus menghabiskan waktu puluhan tahun untuk sukses dalam bisnis dan karir.
Banyak fakta tentang pengusaha “hotel” tanpa memiliki hotel. Dimulai dari Amazon yang menjadi “toko buku” tanpa memiliki toko buku. Bahkan ada yang bisa jual kuda meski tidak paham tentang kuda apalagi punya peternakan kuda. Banyak cerita anak muda bisa muka “mall” tanpa harus memiliki tanah dan bangunan luas untuk membangun Mall, Supermarket dan Foodplaza.
Pun, dunia pendidikan dan pelatihan terkena dampaknya. Ruang-ruang kelas di sekolah, kampus, lembaga kursus singkat dan lembaga pelatihan kerja menjadi kosong. Banyak yang bingung ini kenapa dan harus mulai darimana.Belum selesai keheranan kita dengan disrupsi, wabah Covid-19 melanda dunia sejak akhir 2019 lalu hingga hari ini di bulan Mei 2020. Hampir semua sektor bisnis ambruk kehilangan omzet. Baik yang usaha kelas menengah dan besar, lebih-lebih yang usaha mikro dan kecil. Baik yang bisnis tradisional yang heavy equipment juga bisnis berbasis online yang hanya bermodal business process, algoritma dan server serta internet juga ambruk. Gelombang PHK sampai pada angka jutaan orang dan diikuti penutupan rantai bisnis dimana-mana. Kondisi ini benar-benar menyadarkan kita.
Namun dalam ilmu keseimbangan bahwa sesuatu yang sedang turun maka ada sesuatu yang sedang naik. Persis seperti timbangan. Bila satu sisi timbangan diberi beban lebih berat maka sisi lain timbangan akan naik. Bila kelas-kelas tatap muka sepi padahal memiliki bangun/gedung beton yang berat maka pasti ada sisi lain yang “ringan” tanpa bangunan fisik malah membludak. Apa itu?
Betul, ternyata kelas-kelas online training yang membludak. Dulu karena ada bangunan fisik maka ada “uang pembangunan” yang mahal. Sekarang kelas online hanya berbayar murah malah banyak yang gratis.
Dulu papan tulis hitam dengan kapur putih merajai dunia. Muncul whiteboard dan spidol warna warni. Lalu muncul OHP dan proyektor yang bisa membuat tampilan pengajaran pelatihan makin menarik. Lalu muncul layar lebar elektronik yang mengantikan papan tulis, bisa ditulis dengan stylus dan sekaligus menjadi layar komputer besar yang bisa menampilkan apapun. Baru saja kita ingin ke sana, ternyata telah tercipta lagi keseimbangan yang baru.
Wabah yang belum ditemukan vaksinnya ini, membuat kita sadar. Ada keseimbangan yang baru, ada yang berubah. Ketika kelas-kelas belajar dan kelas-kelas pelatihan sepi didatangi peserta, ternyata saat ini mereka tidak lagi hadir secara fisik, mereka hadir secara maya. Tetap bisa tatap muka, diskusi, bertanya dan saling bertukar ilmu padahal jaraknya jauh sekali secara fisik. Padahal teknologi komunikasi masih generasi ke 4, masih 4G. Bagaimana bila 5G, yang konon kabarnya lebih cepat 100x dari 4G?
Keseimbangan (kebiasaan) baru gegara Covid-19 yaitu “DIGINOM”, saya menyebutnya demikian karena saat wabah dan paska wabah ini kita masuk ke kondisi yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Kita akan masuk ke “DIGINOM” (digital normal and money). Tak terelakkan. Sulit menghindar dari kondisi “DIGINOM” ini. Bahkan sebelum pandemi ini saja tukang ojek sudah tidak lagi menerima uang cash, mereka maunya dibayar pakai digital money. Apalagi setelah pandemi. Tentu belum semua daerah dan pelosok di Indonesia yang mendapati kondisi ini, namun jelas arahnya ke “DIGINOM”. Wabah ini akan membuat proses ini jauh lebih cepat.
Jadi apa yang kita pelajari ? Selama masa pandemi ini?
Bahwa banyak bisnis ambruk karena Covid-19? Bukan! Bisnis ambruk bukan karena Covid-19, bukan karena social distancing! Bukan juga karena PHK. Tapi karena ketiadaan profit.
Sekolah swasta hampir saja tutup permanen karena tidak ada siswa yang bayar SPP. Lembaga pelatihan kerja terpuruk karena ketiadaan omzet. Tidak ada transaksi dan tidak ada uang masuk.
Apakah karena tidak ada peserta? Bukan, calon peserta banyak membludak. Kenapa? Jawabnya karena produk yang ditawarkan tidak ada “nilai”nya di mata calon peserta. Tidak ada sesuatu yang bermanfaat dan dicari untuk memenuhi solusi konsumenlah yang menyebabkan ketiadaan transaksi, omzet dan keuntungan di lembaga pelatihan kita di bisnis kita.
Uang itu mengalir deras, buktinya ada bisnis pelatihan yang hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan bisa hasilkan omzet puluhan bahkan ratusan juta. Bahkan untuk kelas dunia, ada yang hanya dalam hitungan 2 bulan melesat dari 25 juta penguna/pelanggan (konsumen yang rutin bayar) menjadi lebih dari 200 juta penguna/pelangan. Kenapa bisa? Karena ada “nilai”. Sesuatu yang berharga juga unik dan bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Nah apakah Lembaga pelatihan kita punya “nilai” dimata calon konsumen kita? Kemudian apakah “nilai” itu di“salur”kan dengan cara yang tepat untuk sampai ke konsumen/calon peserta pelatihan kita?
Bila calon peserta (target konsumen) pelatihan tidak tahu kita memiliki “nilai” karena memang kita belum memiliki “saluran”/Channel yang tepat baik informasi penawaran dan cara transaksinya, maka wajar bila lembaga pelatihan kita tidak memiliki omzet. Buktinya ada lembaga pelatihan yang tetap menghasilkan omzet, bahkan dibanding periode tahun lalu, dibulan yang sama, jumlah peserta pelatihan yang mendaftar malah lebih banyak. Padahal masa covid-19 ini calon peserta pelatihan tidak boleh datang langsung ke lembaga pelatihan secara fisik.
Ini artinya sudah jelas karena ada digital normal and money (DIGINOM) yang bertemu dengan lembaga pelatihan dengan kesiapan “nilai”. Ditambah dengan sebentar lagi masuknya teknologi komunikasi 5G maka kelas-kelas pelatihan benar-benar berubah dari tatap muka secara fisik ke kelas-kelas “diginom virtual”. Pertemuan tatap muka tentu tetap diperlukan namun tidak lagi menjadi wajib 100%.
Bisa jadi peserta pelatihan (trend-nya) akan lebih banyak belajar dan berlatih sendiri secara mandiri dengan bantuan kelas “diginom virtual”. Sisa 30%-nya mereka datang ke lembaga pelatihan untuk memastikan kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja) mereka kemudian siap untuk uji kompetensi. Akankah kita memasuki era itu?
Saat ini digital learning sudah menjadi mode wajib di sekolah, kampus dan lembaga pelatihan. Belum semua lembaga pelatihan mampu melaksanakannya. Digital learning bercirikan real time video, all the time and everywhere dengan learning management system invisible-nya.
Belum masuk kita ke digital learning, sudah diprediksi muncul intelligent learning. Apalagi ini? Sederhananya, Intelligent Learning adalah Digital Learning dengan optimalisasi Internet of things, big data dan artificial intelligence. “Mati kita! Ambyar!” gumam sebagian praktisi pelatihan.
Siapkah kita dengan perubahan cepat ini? Mengambil sikap menyalahkan keadaan, menyalahkan pesaing bisnis dan pemerintah tidak akan membuat kita kemana-mana. Rahasia bisnis sukses selalu sama. Ambil tanggung jawab, jelajahi dan nikmati perubahan dan segeralah bertindak. Ini karena perubahan pasti terjadi. Sebuah keniscayaan bahwa digital learning akan berubah menjadi intelligent learning.
Intelligent learning, membuat pelatihan memiliki “mesin cerdas” yang bisa tahu bila ada peserta pelatihan yang nyontek saat ujian, tahu bahwa soal terlalu sulit lalu otomatis soal berubah dengan tingkat kerumitan yang lebih ringan, peserta bisa men-setting jenis dan cara pelatihan senyaman yang mereka inginkan. Tak ada lagi isntruktur yang sibuk menjawab pertanyaan, karena “mesin cerdas” akan memilih video yang sesuai untuk menjawab pertanyaan bahkan untuk pertanyaan berulang dan video itu tak pernah lelah dan marah. Tak ada lagi absen tanda tangan dan absen sidik jari, tak ada lagi kehadiran secara fisik.
Cepat atau lambat ini pasti terjadi. Pertanyaannya, apakah lembaga pelatihan kita berada di atas ombak perubahan ini?